Pulau Bangka di Dalam “Truk Uak Bedela”
Oleh: Hanafi Mohan
Cerita yang lumayan menarik menurutku ketika membaca cerpen “Truk Uak Bedela” yang ditulis oleh Hakimi, seseorang yang aku kenal beberapa minggu ini dari dunia maya (internet). “Truk Uak Bedela” berkisah mengenai masyarakat Pulau Bangka yang mungkin selama ini agak kurang terekspos. Mungkin orang dari luar pulau Bangka akan bertanya-tanya, di manakah Pulau Bangka? Bagaimanakah kehidupan orang Pulau Bangka? Bagaimanakah budaya Pulau Bangka? Dan kalau pertanyaan ini diteruskan, mungkin akan terus berderet pertanyaan-pertanyaan lainnya, karena Pulau Bangka memang agak kurang dikenal, apalagi oleh orang-orang di Pusat Kekuasaan Indonesia (Jakarta, dan juga Pulau Jawa). Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang patut untuk dicermati dari cerpen ini.
Pada paragraf:
<<>>
Siapakah Ibu Nuri’ah? Seberapa pentingkah Ibu Nuriyah dimasukkan di Cerpen ini? Kalau tidak penting, mengapa dimasukkan? Kalau dianggap penting, mengapa sejarah tokoh tersebut tidak disebutkan agak lebih lengkap, juga karakternya.
Siapakah Nurdin Romli?, yaitu pada paragraph:
<<>>
Di Cerpen, nama Ibu Nuri’ah dan Nurdin Romli sempat disebut, tapi hanya sekali, kemudian tak disebut-sebut lagi. Aku rasa nama-nama seperti ini lebih baik dihilangkan, dan itu sepertinya tidak akan mengubah pesan dari cerpen ini.
Nama tempat terlalu banyak, namun tidak disebutkan secara detail, sehingga membingungkan ketika membacanya, yang pasti membuat keasyikan membaca cerpen menjadi terusik. Mungkin hanya orang Bangka saja atau orang yang pernah tinggal di Bangka saja yang akan mengerti akan tempat-tempat tersebut ketika membaca cerpen ini.
Selain nama tempat, nama tokohnya juga terlalu banyak, tapi tak disebutkan detail satu persatu dari tokoh tersebut, atau setidaknya tokoh tersebut diperkenalkan dan lebih menjadi hidup.
Cerpen ini juga tidak ada dialognya, selain daripada cerita yang ditutukan oleh naratornya. Sehingga menurutku, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen ini menjadi tidak hidup. Memang, ada kendala tersendiri ketika harus membuat dialog. Kadang, dialog tersebut begitu keringnya. Sehingga, memang harus ada keberanian dalam membuat dialog pada sebuah cerita.
Apakah “sumpit” yang dimaksud? yaitu pada paragraf berikut ini:
<<>>
Pertama-tama ketika membaca paragraf ini, aku tak mengerti akan … beras, ikan asin, nangka, kangkung, telur ayam, bumbu dapur, yang semuanya dibawa di dalam “sumpit”. Pikirku ketika membacanya, apakah hal ini semacam bekal makanan yg dibawa ketika sekolah? Kalau iya, mengapa harus sampai membawa beras, nangka muda, dan juga bumbu dapur? Memangnya semuanya itu dibawa dalam keadaan mentah ke sekolah, kemudian ketika di sekolah baru di masak, atau mungkin sebaliknya, yaitu sudah dalam keadaan masak/matang? Konteks kalimatnya bisa menunjukkan dalam keadaan masak, atau mungkin bisa juga masih dalam keadaan mentah. Jadi, kalimatnya menurutku begitu tidak jelasnya. Tapi yang pasti, aku tak mengerti akan isi paragraf ini. Semakin kubaca, semakin aku tak mengerti dan bingung akan isi dan maksud dari paragraf ini. Dan kalaupun paragraf ini dihilangkan, menurutku tidak akan mengurangi isi dari pesan yang akan disampaikan pada cerpen ini.
Setelah kubaca lebih cermat lagi hingga selesai seluruh cerpen ini, barulah aku mengerti. Mungkin jarak Koba dengan Pangkal Pinang tidaklah dekat, sehingga anak-anak yang dari Koba ketika bersekolah di Pangkal Pinang, mungkin mereka nge-kos di Pangkal Pinang, sehingga mungkin mereka pulang sebulan sekali ke Koba (yang pasti berjangka dan tidak tiap hari bisa bolak-balik Koba dengan Pangkal Pinang karena jaraknya yang tidak dekat itu).
Untung aku pernah membaca Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mengisahkan mengenai anak-anak Pulau Belitung (yang satu Provinsi dgn Pulau Bangka, yaitu Prov. Bangka Belitung), terutama pada Novel “Sang Pemimpi” yang mengisahkan Sang Tokoh Utama ketika bersekolah di SMA di Kota Belitung yang jaraknya mungkin agak jauh dari kampungnya, sehingga ia harus nge-kos di Kota Belitung.
Tapi terus terang, ketika membaca Cerpen “Truk Uak Bedela”, aku seakan-akan sebelumnya pernah membacanya. Menurutku cerita dan gaya berceritanya hampir sama dengan Tetralogi Laskar Pelangi. Apakah ini hanya kebetulan saja? Maksudnya, apakah ini hanya kebetulan karena sama-sama bercerita mengenai anak-anak di Pulau Bangka (pada Cerpen Truk Uak Bedela) dengan Pulau Belitung (pada Tetralogi Laskar Pelangi).
Yang menarik juga dari cerpen ini adalah pada paragraf penutupnya:
<<>>
Tragedi, komedi, campur aduk pada cerpen ini. Entah mengapa, aku begitu senangnya membaca cerita yang seperti ini. Tersenyumlah, walau seberat apapun hidup yang kita jalani. Itulah pesan singkat yang kudapat dari cerpen ini, selain juga tentunya pesan-pesan yang lainnya. [Aan]
Oleh: Hanafi Mohan
Cerita yang lumayan menarik menurutku ketika membaca cerpen “Truk Uak Bedela” yang ditulis oleh Hakimi, seseorang yang aku kenal beberapa minggu ini dari dunia maya (internet). “Truk Uak Bedela” berkisah mengenai masyarakat Pulau Bangka yang mungkin selama ini agak kurang terekspos. Mungkin orang dari luar pulau Bangka akan bertanya-tanya, di manakah Pulau Bangka? Bagaimanakah kehidupan orang Pulau Bangka? Bagaimanakah budaya Pulau Bangka? Dan kalau pertanyaan ini diteruskan, mungkin akan terus berderet pertanyaan-pertanyaan lainnya, karena Pulau Bangka memang agak kurang dikenal, apalagi oleh orang-orang di Pusat Kekuasaan Indonesia (Jakarta, dan juga Pulau Jawa). Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang patut untuk dicermati dari cerpen ini.
Pada paragraf:
<<
Siapakah Ibu Nuri’ah? Seberapa pentingkah Ibu Nuriyah dimasukkan di Cerpen ini? Kalau tidak penting, mengapa dimasukkan? Kalau dianggap penting, mengapa sejarah tokoh tersebut tidak disebutkan agak lebih lengkap, juga karakternya.
Siapakah Nurdin Romli?, yaitu pada paragraph:
<<
Di Cerpen, nama Ibu Nuri’ah dan Nurdin Romli sempat disebut, tapi hanya sekali, kemudian tak disebut-sebut lagi. Aku rasa nama-nama seperti ini lebih baik dihilangkan, dan itu sepertinya tidak akan mengubah pesan dari cerpen ini.
Nama tempat terlalu banyak, namun tidak disebutkan secara detail, sehingga membingungkan ketika membacanya, yang pasti membuat keasyikan membaca cerpen menjadi terusik. Mungkin hanya orang Bangka saja atau orang yang pernah tinggal di Bangka saja yang akan mengerti akan tempat-tempat tersebut ketika membaca cerpen ini.
Selain nama tempat, nama tokohnya juga terlalu banyak, tapi tak disebutkan detail satu persatu dari tokoh tersebut, atau setidaknya tokoh tersebut diperkenalkan dan lebih menjadi hidup.
Cerpen ini juga tidak ada dialognya, selain daripada cerita yang ditutukan oleh naratornya. Sehingga menurutku, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen ini menjadi tidak hidup. Memang, ada kendala tersendiri ketika harus membuat dialog. Kadang, dialog tersebut begitu keringnya. Sehingga, memang harus ada keberanian dalam membuat dialog pada sebuah cerita.
Apakah “sumpit” yang dimaksud? yaitu pada paragraf berikut ini:
<<
Pertama-tama ketika membaca paragraf ini, aku tak mengerti akan … beras, ikan asin, nangka, kangkung, telur ayam, bumbu dapur, yang semuanya dibawa di dalam “sumpit”. Pikirku ketika membacanya, apakah hal ini semacam bekal makanan yg dibawa ketika sekolah? Kalau iya, mengapa harus sampai membawa beras, nangka muda, dan juga bumbu dapur? Memangnya semuanya itu dibawa dalam keadaan mentah ke sekolah, kemudian ketika di sekolah baru di masak, atau mungkin sebaliknya, yaitu sudah dalam keadaan masak/matang? Konteks kalimatnya bisa menunjukkan dalam keadaan masak, atau mungkin bisa juga masih dalam keadaan mentah. Jadi, kalimatnya menurutku begitu tidak jelasnya. Tapi yang pasti, aku tak mengerti akan isi paragraf ini. Semakin kubaca, semakin aku tak mengerti dan bingung akan isi dan maksud dari paragraf ini. Dan kalaupun paragraf ini dihilangkan, menurutku tidak akan mengurangi isi dari pesan yang akan disampaikan pada cerpen ini.
Setelah kubaca lebih cermat lagi hingga selesai seluruh cerpen ini, barulah aku mengerti. Mungkin jarak Koba dengan Pangkal Pinang tidaklah dekat, sehingga anak-anak yang dari Koba ketika bersekolah di Pangkal Pinang, mungkin mereka nge-kos di Pangkal Pinang, sehingga mungkin mereka pulang sebulan sekali ke Koba (yang pasti berjangka dan tidak tiap hari bisa bolak-balik Koba dengan Pangkal Pinang karena jaraknya yang tidak dekat itu).
Untung aku pernah membaca Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mengisahkan mengenai anak-anak Pulau Belitung (yang satu Provinsi dgn Pulau Bangka, yaitu Prov. Bangka Belitung), terutama pada Novel “Sang Pemimpi” yang mengisahkan Sang Tokoh Utama ketika bersekolah di SMA di Kota Belitung yang jaraknya mungkin agak jauh dari kampungnya, sehingga ia harus nge-kos di Kota Belitung.
Tapi terus terang, ketika membaca Cerpen “Truk Uak Bedela”, aku seakan-akan sebelumnya pernah membacanya. Menurutku cerita dan gaya berceritanya hampir sama dengan Tetralogi Laskar Pelangi. Apakah ini hanya kebetulan saja? Maksudnya, apakah ini hanya kebetulan karena sama-sama bercerita mengenai anak-anak di Pulau Bangka (pada Cerpen Truk Uak Bedela) dengan Pulau Belitung (pada Tetralogi Laskar Pelangi).
Yang menarik juga dari cerpen ini adalah pada paragraf penutupnya:
<<
Tragedi, komedi, campur aduk pada cerpen ini. Entah mengapa, aku begitu senangnya membaca cerita yang seperti ini. Tersenyumlah, walau seberat apapun hidup yang kita jalani. Itulah pesan singkat yang kudapat dari cerpen ini, selain juga tentunya pesan-pesan yang lainnya. [Aan]